Makalah Asal Usul Tolitoli
BAB I PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
ASAL USUL
TOLITOLI
Nama Tolitoli terdengar
sangat menarik dan Khas. Mengenai asal-usul nama Tolitoli, menurut legenda,
berasal dari kata Totolu yang artinya tiga. Maksudnya, suku bangsa Tolitoli
berasal dari 3 manusia kayangan yang menjelma ke bumi ini masing-masing
melalui: olisan Bulan (bambu Emas), Bumbung Lanjat (puncak pohon Langsat), dan
Ue saka (sejenis Rotan). Yang menjelma Olisan Bulan di Kenal sebagai Tau Dei
Baolan atau Tamadika Baolan. Yang menjelma melalui Ue saka dikenal sebagai Tau
Dei Galang atau Tamadika Dei Galang. Sedangkan putri yang menjelma melalui
bumbung Lanjat dikenal sebagai Tau Dei Bumbung Lanjat atau Boki Bulan.
Kemudian nama Totolu (
Tau Tolu ) berubah menjadi Tontoli sebagaimana yang tertulis dalam
Lange-Contrack 5 juli 1858 yang ditandatangani antara Dirk Francois dari pihak
belanda dengan Raja Bantilan Syafiuddin. Tahun 1918 berubah menjadi Tolitoli,
seperti yang terlihat dalam penulisan Korte verklaring yang di tandatangi Raja
Haji Mohammad Ali dengan pemerintah Hindia Belanda, yang ketika itu ibukota
kerajaan berpusat di Nalu.
Bahasa yang dipakai
sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Geiga. Bahasa ini menurut
ahli bahasa AC kruyt dan Dr Adriani termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa
Tomini, yang daerah sebarnya antara desa Towera di wilayah kabupaten Donggala
samapi ke desa Molosipat yang berbatasan dengan kabupaten Gorontalo.
Sepanjang sejarah yang
diketahui, Tolitoli mempunyai pemerintahan yang bersifat kerajaan. Puncak
kejayaannya dicapai setelah masuknya agama islam, sekitar abad ke-17, yang
dibawa mubalig dari kesultanan ternate. Pada waktu itu masyarakat benar-benar
merasakan keamanan dan ketentraman dalam wilayah kerajaan.
Sejak itu hubungan
kerajaan Tolitoli dengan Kesultanan Ternate terjalin baik, hingga kerjaan
Tolitoli masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Mulai saat itu Raja
yang berkuasa di Tolitoli sudah di nobatkan di Ternate.
Salah satu Raja yang
mendapat kehormatan untuk dilantik dan dinobatkan di ternateadalah Raja
Imbaisug yang dengan kebesaran berlayar dengan perahu Banggakasaan menuju
Ternate. Namun sayang sekali pada waktu kembali ke Tolitoli meninggal dalam
perjalanan, kemudian dimakamkan di Tuweley. Raja Imbaisug dan saudaranya
Djamalul Alam dipilih bersama-sama di Ternate tahun 1773, dengan suatu
ketentuan bahwa apabila Imbaisug meninggal dunia harus digantikan oleh Djamalul
Alam.
Setelah pengakuan
kerjaan Tolitoli terhadap kesultanan Ternate, pada saat itu pula untuk pertma
kalinya raja dari kerajaan Tolitoli bergelar “ Tamadikanilantik “ yang untuk
selanjutnya bergelar Sultan.
Kesultanan adalah suatu
bentuk pemerintahan islam, maka dengan sindirinya kerajaan Tolitoli menjadi
sebuah kerajaan islam dengan nama Kesultanan Tolitoli. Pada saat itu mulai
terjadi perubahan hukum adat serta adat-istiadat lainnya yang kesemuanya
disesuaikan denganajaranislam.DisiniAgamaIslamyang mewarnai corak kehidupan masyarakat sekaligus sebagai sendi-sendi
adatnya. Maka tidak mengherankan manakala unsur-unsur agama islam
melatarbelakangi upacara-upacara tertentu, seperti upacara mandisafar,
mauludan, khitanan, dan perkawinan.
Setelah Sultan Djamalul
Alam mangkat, digantikan putra sulungnya: Sultan Mirfaka, Tetapi memerintah di
wilayah Dondo. Untuk Tolitoli diserahkan kepada Putra Keduanya, Muhiddin yang
tidak lagi bergelar Sultan,melainkan bergelar Raja yang diberi julukan Tau Dei
Beanna.
Sesudah Raja Muhiddin
mangkat digantikan Oleh Mohammad Yusuf Syaiful Muluk Muidjuddin, yang bergelar
Malatuang ( artinya yang patut disembah ). Oleh rakyatnya diberi julukan Tau Dei Buntuna. Dengan demikian jelas bahwa sebelum
bangsa belanda masuk wilayah ini, kerajaan Tolitoli sidah ada dan diperintah
oleh seorang Raja yang disebut Gaukan.
Menurut sejarah Raja
Mohammad Yusuf “Malatuang” Syaiful Muluk Muidjuddin adalah Raja yang sudah
diadatkan oleh Rakyat jauh sebelum kedatangan bangsa belanda, karena tercatat
masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1781-1812. Makamnya di Buntuna,
Desa Tambun, Kecamatan Baolan.
Dalam menjalankan
pemerintahan, Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh
sejumlah pejabat kerajaan yang diserahi tugas-tugas tertentu. Oleh karena pada
waktu itu rakyat belum begitu banyak, maka perangkat kerajaan juga sangat
sederhana.
Pada dasarnya perangkat
kerajaan yang bertugas sebagai membantu Raja, hanya terdiri dari :
1)
Jogugu:
sebagai penghubung raja dengan pihak luar dan menjalankan kekuasaan raja
sehingga pada saat-saat tertentu mewakili Raja.
2)
Kukum:
bertugas memberikan penerangan hukum sekaligus penasihat raja
3)
Kapitalau:
bertugas mengurus segala sesuatu di sektor lautan
4)
Kepala
Adat: bertugas pada upacara-upacara Adat yang dilakukan Raja.
5)
Kapita
Raja: bertugas mengapit Raja
6)
Pahalaan:
bertugas sebagai penjaga keamanan Raja atau istana dan mengurus hal-hal yang
menyangkut urusan rumah tangga istana sekaligus sebagai pengawal Raja.
7)
Babato:
bertugas membidangi masalah Syara.
8)
Mayor:
bertugas pada Eselon bawah pemerintahan yang berfungsi sebagai penguasa dalam
satu satuan masyarakat terkecil.
9)
Malinu:
bertugas sebagai memberitahukan hal-hal yang penting pada masyarakat.
Seluruh
pejabat kerajaan dalam menjalankan tugasnya langsung bertanggung jawab kepada
raja. Sedangkan yang berhak dinobatkan menjadi Raja, harus mempunyai garis
keturunan langsung dari Raja.
Menurut cerita bahwa
Raja Mohammad Yusuf Malatuang, pada masa pemerintahannya cukup arifbijaksana,
sangat adil, serta cukup memperhatikan kehidupan rakyanya, sehingga walau Raja
telah wafat, namanya tetap dikenang oleh Rakyat.
Pengagungan
rakyat terhadap Raja, sampai sekarang masih terdengartuk Syair yang sering
didendangkan oleh rakyat Tolitoli yang berbunyi:
Sadang ilaeng Bona
Gaukan Dei Buntuna
Mau namo bukuna
Impong suang lipuna.
Yang artinya
:
Daun
pohon Bona
Raja
di Buntuna
Walaupun
tinggal Tulangnya
Tetap
diingat oleh isi negerinya.
Begitu banyak Raja yang menangani
pemerintahan pada jamannya sehingga tidaklah mengherankan manakala rakyat
menunjukkan rasa patuh terhadap Raja. Hari ini nampak terlihat bilamana rakyat
berbicara tidak akan menyebut nama Raja tetapi mereka menggantinya dengan
sebutan “KALANGAN” yang artinya mengandung pengertian sesuatu yang sangat di
agungkan.
Selanjutnya
sikap rakyat bilamana akan berjabat tangan dengan Raja maka mereka terlebih
dahulu memegang kepalanya masing-masing sebagai suatu isyarat bahwa kepala
adalah bagian tubuh yang dimuliakan manusia sehingga kaitannya begitu pulalah
rasa kemuliaan mereka terhadap Raja.
Raja mohammad Yusuf Malatuang waktu itu
berkedudukan di Kalangkangan pada tahun 1812. Raja ini mendirikan sebuah istana
di kampung Nalu.istana itu kemudian di berinama BALE DAKO ( istana besar ) atau
BALE MASIGI ( Istana yang puncaknya seperti kubah masjid ). Disinilah pusat kegiatan
pelayaran kerajaan Tolitoli.
Kini bekas Istana Raja di kampung Nalu dekat
Tolitoli itu hanya tinggal sebuah PUTUU ( Tiang Agung ) yang tetap berdiri
sampai sekarang dekat sebuah pertigaan jalan.
Setelah
Raja Malatuang mangkat maka pimpinan kerajaan diserahkan kepada putranya
bernama BANTILAN SYAFIUDDIN di mana pada masa pemerintahan Raja inilah bangsa
belanda masuk ke Kerajaan Tolitoli.
B.
Masalah
Ø Bagaimanaperjuanganmasyarakat
di Tolitolidalammelawanparapenjajah yang inginmenguasaidaerahTolitoli?
Ø Bagaimanacarapenjajahmemperlakukanmasyarakatdi
Tolitoli agar maubekerja di bawahkekuasaanmereka?
Ø Bagaimana proses
berakhirnyakekuasaanpenjajah di Tolitoli?
C.
Tujuan
Ø UntukmengetahuibentukpenjajahanbangsaBelandadanJepang
di Tolitoli.
Ø Untukmengetahui
raja-raja yang pernahmemerintahkerajaanTolitolisetelahkedatanganBelanda.
Ø Untukmengetahuinamatokoh-tokohpejuangdaridaerahtolitoli.
BAB II: PEMBAHASAN
A.
KERAJAAN
TOLITOLISETELAH KEDATANGAN BANGSA BELANDA
1.
Pemerintahan Raja Bantilan
Syafiuddin (1859-1867)
Menurut sejarah, orang belanda yang pertama
kali menginjakkan kakinya di wilayah kerajaan Tolitoli adalah Piet Broogh
ditahun 1856 yang pada waktu itu Kerajaan Tolitoli telah dipegang oleh Raja
Bantilan Syafiuddin yang sudah diangkat
“Adat” oleh rakyatnya.
Pada umumnya Raja Bantilan Syafiuddin dalam
menghadapi kedatangan Belanda senantiasa menunjukkan sikap tidak bersahabat
karena pada dasarnya Raja merasa tidak rela atas kehadiran bangsa belanda dalam
Kerajaannya sebab merasa akan mengadakan penjajahan terhadap rakyatnya.
Namun bujuk rayu Belanda terhadap Raja terus
dilakukan dalam setiap kesempatan sehingga dua tahun kemudian Belanda berhasil
menciptakan suasana bersahabat yang dilanjutkan dengan penandatanganan Lange
Contract ( kontrak Panjang ), pada tanggal 5 juli 1858 antara Dirk Francois
dari pihak Belanda dan Raja Bantilan Syafiuddin.
Dalam masa pemerintahan Raja Bantilan
Syafiuddin ini, pemerintahan boleh dikatakan berjalan dengan baik sesuai dengan
keadaan pada waktu itu. Rakyat dianjurkan untuk berladang dan menanam pohon
kelapa. Hubungan dagang dengan pihak luar sering juga terjadi walaupun hanya
melalui / mempergunakan perahu layar yang datang dari makassar dan Ternate
serta lain-lain daerah dengan maksud berdagang yang diselingi dengan pekerjaan
dakwah menyebarkan agama Islam pada watu itu.
Raja Bantilan Syafiuddin setelah wafat
dimakamkan di Pulau Lutungan yang dikenal dengan sebutan Lobong Tau Dei Tando Kanau artinya kuburan Orang di Tanjung PohonEnau.
Hal ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu di pulau Lutungan yang terletak
di depan kota Tolitoli, banyak sekali pohon Enau. Menurut Hikayat yang ada, di
saat jenazah almarhum Raja Bantilan Syafiuddin diusung dari Kampung Nali ke
Pulau Lutungan maka seluruh perahu yang ada dalam Kawasan Kerajaan Tolitoli
pada waktu itu dikerahkan untuk dijadikan jembatan penghubung dari kampung Nalu
menuju kepulau Lutungan yang selanjutnya dimakamkan. Setelah Raja ini wafat
maka tampuk pimpinan kerajaan diserahkan kepada puteranya yang tertua yakni
Haji Abdul Hamid.
1) Pemerintahan Raja Haji Abdul Hamid Bantilan (1869-1901)
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata
urusan pemerintahan nampak semakin baik dan lancar. Petugas-petugas yang
mengurusi kegiatan di Istana, yang mengurusi bidang ekonomi maupun yang
mengurus pelabuhan kesemuanya melaksanakan pekerjaannya dengan rapi dan teratur
sebagaimana yang diharapkan.Kapal-kapal dagang sudah seringkali berlabuh
dipelabuhan Tolitoli dan bahkan pada waktu itu sudah ada kapal dagang yang
membuat trayek tetap antara Makassar-Donggala-Tolitoli dimanapara penumpang
terdapat pula orang-orang Cina. Dalam sejarah tercatat bahwa orang Cina pertama
masuk ke Wilayah Kerajaan Tolitoli bernama Hong Bie.
Setelah Raja Haji Abdul Hamid Bantilan wafat. Jenazahnya dimakamkan dipulau Lutungan
berdampingan dengan makam ayahnya yakni Raja Bantilan Syafiuddin. Tampak
pimpinan Kerajaan kemudian diserahkan
kepada adiknya yakni Haji Ismail Bantilan.
2) Pemerintahan Raja Haji Ismail Bantilan (1908-1918)
Raja Haji Ismail Bantilan mulai memerintah
kerajaan setelah menandatangi Korte Verklaring no.1 tgl 12 Februari 1908 dengan
pihak belanda.
Raja Haji Ismail Bantilan dalam masa
pemerintahannya dikenal dengan gelar TAU
DEI BABO KASO artinya Orang diatas kasur. Meskipun telah menandatangi Korte
Verklaring namun dalam sikapnya Raja ini selalu menunjukkan rasa tidak
bersahabatnya dengan Belanda, sehingga terkenal sebagai raja yang keras dalam
pendirian.
Hal ini terbukti dalam tahun 1911 Raja
secara terang-terangan melawan belanda karena rakyatnya dipaksa bekerja
heerendienst ( kerja rodi ) oleh pemerintah Hindia-Belanda. Akibatnya Raja Haji
Ismail Bantilan diinternir oleh belanda selama 6 tahun (enam) bulan di
Donggala, namun akhirnya juga dikembalikan lagi ke Tolitoli.
3) Pemerintahan Raha Haji Muhammad Ali Bantilan (1918-1919)
Pada tahun 1917 seorang tokoh Sarekat Islam (SI)
bernama Sastro Kardono sebagai utusan langsung H.O.S. Cokroaminoto datang ke
Tolitoli untuk membentuk Ssarekat Islam dan sekaligus menetapkan Haji Mohammad
Ali sebagai Presiden S.I. yang pertama.
Sementara itu dalam buku sejarah juga
tercantum bahwa dalam tahun 1917 tokoh pejuang Abdul Muis juga berkunjung ke
Tolitoli dan kunjungan inilah yang kemudian dikaitkan telah menyebabkan timbulnya
pemberontakan di Salumpaga bulan juni 1919 yang dicatat sebagai pemberontakan
Tolitoli. Sebetulnya pemberontakan di Salumpaga tersebut merupakan Klimaks dari
pada antipati rakyat terhadap penjajah belanda.
Dengan diangkatnya Haji Mohammad Ali
Bantilan sebagai Raja dan Juga sebagai
Presiden Sarekat Islam yang pertama,
maka dengan sendirinya keanggotaan Sarekat Islam di kerajaan Tolitoli semakin
tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Hal ini dapat dimaklumi karena yang
menjadi Presiden Sarekat Islam adalah Raja yang sangat dipatuhi oleh rakyatnya.
4) Pemerintahan Raja Haji Mohammad Saleh Bantilan (1920-1922)
Setelah pemberontakan Salumpaga tahun 1919,
maka selama kurang lebih satu tahun tidak pernah terdengar lagi Heerendients
gemeentedients, istilah tersebut dianggap sangat berbahaya dan berbau politik.
Namun, setelah Residen Menado F.J Kroon diganti oleh penggantinya yang baru J.R Logeman maka pekerjaan kerja
paksa (kerja Rodi) itupun dimulai kembali.
Peristiwa Salumpaga merupakan salah satu
kegigihan dan kepahlawanan dari bangsa kita untuk mengusir penjajah. Masuk
dalam sejarah Nasional Indonesia dan terkenal dengan pemberontakan Tolitoli.
Hubungan dagang dengan daerah-daerah lain
semakin maju karena pelabuhan Tolitoli sering disinggahi kapal-kapal besar
sehingga tidak mengherankan bila pada waktu itu mulai berdatangan suku-suku bangsa yang lain, seperti
Bugis, Manado, Sangir, Jawa, dan tak ketinggalan Orang-orang Cina dengan maksud
untuk berdagang.
B.
KERAJAAN
TOLITOLI SETELAH KEDATANGAN BANGSA JEPANG
Menjelang kedatangan tentara jepang ke
indonesia , saat itu di Tolitoli ditempatkan satu Kompi Tentara Belanda dibawah
Pimpinan Letnan HAERBERTS. Penempatan tentara Belanda waktu itu karena Tolitoli
dinilai sebagai daerah yang berbahaya yang harus diperintah oleh Militer
sehubungan dengan kejadian/peristiwa SALUMPAGA yang menewaskan Controleur
belanda. Dan itu pula sebabnya selain sebagai Komandan Tentara Letnan Haerberts
juga sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Sipil (GEZAGHEBBER-tahun1940
sampai dengan akhir tahun 1941).
Ketika jepang mulai menggempur Pearl Harbour
di Hawai, maka pihak Belanda siap-siap untuk menghadapi Tentara jepang.
Konsolidasi pasukan mulai dilakukan, demikian juga yang ada di Tolitolidikonsolidasikan
di Poso di bawah Pimpinan Kapten DE JONG. Oleh karena itu pengamanan di
Tolitoli diserahkan kepada satu peleton Polisi dibawah Pimpinan Inspektur
BOERTJE.
Ketika tentara jepang mulai membanjir ke
daerah selatan, maka pemerintah Hindia Belanda mulai Kalang kabut sehingga kehilangan Koordinasi dengan
daerah-daerah.Demikian juga di Tolitoli, pihak polisi di Tolitoli sendiri waktu
itu telah mulai banyak bergaul dengan tokoh-tokoh politik terutama dari partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Karena
melihat situasi makin tidak menentu , sedangkan perasaan anti Belanda masih
membara , maka beberapa anggota polisi merencanakan mengadakan kudeta terhadap
pimpinannya yang mencapai klimaksnya pada tanggal 25 januari 1942. Inspektur
Boertje terbunuh sementara Controleur BRUKEL di Tolitoli dan Controleur de
Vries dari Leok/Buol ditahan dirumah Controleur Tolitoli (rumah kediaman Bupati
Kepala Daerah yang sekarang).
Namun rupanya kudeta tersebut kurang
terencana sehingga dua orang dari sembilan orang polisi yang membentrok itu
melarikan diri ke Palu dan melaporkan kejadian tersebut kepada Letnan Haerberts
yang kebetulan masih ada di Palu. Keadaan rakyat maupun pemerintahan di
Tolitoli makin kacau sementara berita tentang segera mendaratnya pasukan jepang
makin Senter. Sehingga bisa dimaklumi pihak polisi yang ada tidak lagi
memikirkan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum namun berpikir bagaimana
menyelamatkan diri sendiri seaman mingkin andaikata ada serangan balasan dari
pihak belanda atau kalau tentara jepang mendarat.
Pada
tanggal 18 Februari 1942, akibat laporan dua Polisi yang melarikan diri dari
Tolitoli, satu regu tentara belanda dibawah pimpinan Letnan Haerberts dan
Sersan Welingga mendarat di pantai Kalangkangan. Dengan berjalan kaki ,mereka
ini menuju ke Tolitoli.
Polisi-polisi
yang melakukan Kudeta yang berada di Tolitoli setelah mendengar ada pendaratan
di kalangkangan, mereka kabur sendiri-sendiri menyelamatkan diri di kaki-kaki
Gunung Tuweley. Tapi kedua pimpinan mereka yakni AWUy dan WAANI dengan
mengendarai se buah jeep menuju ke kalangkangan. Ditengah perjalanan yakni di
KM-3 kedua polisi tersebut bertemu dengan tentara Belanda dan terjadi
tembak-menembak.Jeep kena tembak
bannya, sementara Awuy terus lari menuju Buol sedangkan Waani lari
kebukit-bukit di atas kampung Sidoarjo sekarang. Malam itu juga pasukan Belanda
masuk ke kota Tolitoli dan seminggu kemudian polisi-polisi yang memberontak itu
tertangkap semuanya, kecuali dua orang yakni J.Habibie dan Kamal yang dapat
melarikan diri ke Gorontalo.
Waani,
piring, Languyu, Supandi, Mokalu, Siswoyo dihukum mati di Gunung panasakan
sedangkan Awuy yang tertangkap di Buol divonis di tempat tersebut. Tahun 1964
tulang-tulang atau kerangka jenazah mereka diangkat dan dimakamkan kembali di
Taman Makam Pahlawan.
Setelah dirasa aman, pasukan belanda itu
kembali lagi ke Palu dengan membawa
dua orang Controleur yang semula
disekap di Tolitoli. Keaman diserahkan kembali kepada
polisi yang masih setia kepada
belanda yang dibawah Koordinasi Waarnemend Matata Daeng Masese.
Gerakan dari para polisi yang
melakukan Kudeta itu ternyata mendapat simpati massa.
Pemberontakan Malomba
Pejabat pemerintahan Jepang di
Tolitoli waktu itu dipegang oleh Imaki Ken Kanrikan. Kemudian awal bulan Juli
1945 seorang rakyat bernama TANTONG MADAYUNI menyebarkan berita dari Tarakan
Kalimantan bahwa Jepang sudah bertekuk Lutut yang berarti sudah tidak berkuasa
lagi di Indonesia.
Walaupun
jepang masih kuat dan berkuasa di Tolitoli, namun karena jepang telah bertekuklutut
pada sekutu, Tantong Madayuni bersama kawan-kawannya mencoba merencanakan
pemberontakan terhadap jepang. Gerakan dibawah Tanah ini mendapat sambutan dari
kepala kampung setempat yang bernama Lagorodi.
Gerakan
ini mulai mengadakan aksinya antara lain mencoba menangkap polisi jepang yang
sedang bertugas di Malomba yaitu Jos Paslah, Kere dan Manoppo. Dari ketiga
orang polisi jepang tersebut Jos Paslah sempat diikat namun berhasil melarikan
diri ke Tolitoli dan melaporkan kejadian tersebut Kepada Imaki Ken kanrikan.
Adapun Manoppo melarikan diri ke tarakan sedang Kere lari ke jurusan Bambapula
tapi akhirnya mati dibunuh oleh rakyat di sana.
Sesudah
ada laporan tentang peristiwa tersebut pihak jepang segera menyiapkan rombongan
ke malomba, yang terdiri dari : Imaki Ken Kanrikan, Raja Haji Mohammad Saleh
Bantilan, Kepala Polisi Jepang, Buco Makalo, serta beberapa anggota polisi
jepang. Rombongan ini naik perahu dan turun di Malala kemudian ke Tinabogan.
Dari Tinabogan rombongan jepang tersebut bersama-sama kepala Distrik Selatan
Haji Ibrahim Nangga menuju kampung Malomba. Setelah sampai di malomba rombongan
tersebut langsung berhadap-hadapan dengan para pemberontak yang pada saat itu
belum ada tanda-tanda melakukan gerakan karena telah diisyaratkan oleh raja
supaya rakyat tetap berada ditempat masing-masing.
Namun
karena Buco Makalo melepaskan tembakan keatas sebagai isyarat aman, namun hal
itu dianggapi lain oleh rakyat, terjadi salah paham, sehingga langsung
menyebabkan pertumpahan darah dengan terbunuhnya Imaki Ken Kanrikan oleh
pemberontak yang bernama Lanoni.
Peristiwa Malomba ini terjadi pada tanggal
18 juli 1945, yakni sebelum indonesiamenyatakan kemerdekaanya. Dalam
pemberontakan ini tantong Madayuni sempat melarikan diri sedangkan kawan-kawannya
yang tertangkap langsung dibawa Ke Tolitoli dimana mereka sekitar 13 orang mati
di kaki Gunung panasakan di Tolitoli. Pihak jepang memang mengerahkan seluruh
kekuatannya baik yangpolisimaupun militer, semua kekuatan yang ada di Tolitoli
dikerahkan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
Peristiwa
Malomba maupun dihukum matinya pahlawan-pahlawan kemerdekaan itu oleh pihak
jepang, bukannya menjadikan rakyat takut, tapi malahan kebalikannya justru
rakyat semakin berani mengadakan gerakan dibawah tanah yang apada akhirnya
jepang yang masih ada sempat mereka penjarakan di Tolitoli. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945 secara
berangsunr-angsur orang-orang jepang tersebut meninggalkan Tolitoli.
Seperti
diketahui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak begitu berpengaruh
ataukedengaran di Tolitoli karena waktu itu jepang masih menyembunyikan
persoalan tersebut sementara
tentara jepang sendiri secara
berangsur-angsur diangkut oleh kapal-kapalnya yang tersisa ke temapt-tempat
yang strategis untuk selanjutnya menuju ke jepang atau ketempat dimana ada
induk pasukannya. Sisanya yang tidak sempat diangkut segera mencari tempat
persembuyian sendiri seperti satuan tentara jepang dibawah Tanaka yang
bersembunyi di Hulu Sungai Buol yang disebut Air Terang.
3). KERAJAAN
TOLITOLI SETELAH BANGSA INDONESIA
MERDEKA.
Tepat
satu bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,
di daerah Tolitoli terjadi pemberontakan rakyat Malomba yang merupakan salah
satu dari diantara sekian banyak gerakan perlawanan rakyat yang terjadi di
persada Tanah Air Indonesia dalam masa-masa perjuangan mendobrak pintu
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Setelah
Bangsa Indonesia Mencanagkan Kemerdekaanya, maka rakyat di daerah ini telah
mengibarkan berndera Sang Saka Merah Putih. Namun dalam perkembangan
pemerintahan selanjutnya kelihatan bahwa penjajah belanda ingin kembali
berkuasa di Indonesia yang terbukti pada tahun 1946 kembali memasuki wilayah
Tolitoli sehingga disambut dengan perlawanan rakyat, tetapi pada akhirnya pihak
belanda berhasil juga menguasai daerah ini yang selanjutnya mereka membentuk
pemerintahan NICA (Nederlandsch Indische
Civiel Administratie ).
Dalam tahun 1964 itu pemerintah belanda dari
Morotai di daerah Maluku Utara, dengan melalui tarakan di Kalimantan Timur
telah mengirimkan satu pasukan militer dibawah pimpinan Letnan de Vree datang
ke Tolitoli. Mereka ini menjajagi keamanan di daerah inidengan maksud untuk
mengatur kembali siasat politik Belanda yang akan membagi-bagi indonesia dalam
beberapa negara bagian dimana Tolitoli masuk dalam wilayah Negara Indonesia
Timur yang berkedudukan di Makassar.
Letnan
de Vree hanya sempat tinggal selama 3 bulan menjalankan tugasnya. Namun
kepergiannya juga ditandai dengan penemoatan Controleur de Claus yang memegang
tampuk pemerintahan di Tolitoli tahun 1946-1948, dan Bestuurs Asisten waktu itu
depegang oleh Rajawali Muhammad Pusadan, sedangkan kepala polisinya Vince (
bacanya Vinke ). Selanjutnya Controleur de Klausdiganti oleh de Kleer tahun
1948 sampai penyerahan kedaulatan 27 desember 1949.
Walaupun
status daerah Swapraja masih tetap diakui namun Raja Haji Muhammad Saleh
Bantilansudah dalam keadaan istirahat sehingga pelaksanaan pemerintahan
kerajaan yang disebut “KomisiPemerintahan Swapraja” sudah dirangkap oleh setiap
pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda pada waktu itu.
Dalam
perkembangan selanjutnya pemerintah belanda menempatkan pejabat di daerah ini
dengan sebutan “Hoofd van Plaatselijke Bestuur” (HPB) yang untuk pertama
kalinya dijabat oleh Rajawali Muhammad Pusadan. Sesudah itu jabatan HPB
tersebut diserahkan lagi kepada Abdul Rahman Nento dimana saat itu terjadi satu
peristiwa yang disebut Gerakan Pemuda yang dipimpin oleh Andi Cabambang dan
Beddurangan.
Gerakan
pemuda tersebut dimulai dari Soni (Kecamatan Dampal Selatan) yang mengorganisir
para pemuda serta menangkapi polisi NICA di Dampal. Begitu digerakkan gerakan
ini berhasil merebut senjata dari tangan polisi belanda dan mengambil perahu-perahu
tangkapan yaitu perahu yang ditangkap karena
menyelundupkan kopra di Pilipina,
Tawao dan lain-lain. Kemudian sekelompok tokoh pemuda yang berasal dari kota
Tolitoli ikut menggabungkan diri kedalam Gerakan Pemuda sehingga kalau dahulu
Gerakan Pemuda tersebut belum jelas apa maksud dan tujuannya. Kini menjdi
gerakan Pemuda yang benar-benar membantu Pemerintah dalam wilayah ini. Dengan
demikian tidak terjadi gangguan keamanan sehingga jalannya pemerintahan
berjalan dengan cukup baik.
Dengan
mampirnya pasukan H.V. Worang (bekas Gubernur Sulawesi Utara), maka senjata
yang direbut oleh Gerakan Pemuda diambil oleh pihak yang berwajib dan dengan
demikian secara otomatis Gerakan Pemuda mengakhiri kegiatannya waktu itu. Walau
telah usai, Gerakan Pemuda tersebut nyata-nyata telah banyak jasanya di dalam
ikut menumbuhkan situasi sedemikian rupa sehingga pemerintah dapat menjalankan
tugas sebagai mana mestinya.
Selanjutnya pasukan Worang ini digantikan
oleh tentara SUMU ( Sulawesi Utara Maluku Utara ). Awal tahun 1950 datang dari
Menado sepasukan tentara yang dipimpin oleh kapten Mogot dan Letnan Manase dari
kesatuan Branjangan. Mereka datang untuk pengamanan daerah Tolitoli , ikut
mengatur susunan pemerintahan, menghentikan kegiatan-kegiatan yang mengacaukan
masyarakat, memilih pemuda-pemuda yang berbakat untuk dijadikan tentara antara
lain yang terpilih adalah Bathin (almarhum) dan Ismail Mailili(Mayor
Purnawirawan dan Anggota DPRD Kabupaten Gorontalo).
Setelah
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dan berlakunya Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS), maka pemerintahan wilayah ini dipegang oleh Negara
Indonesia Timur (NIT) sehingga pejabat yang berwenang memegang wilayah ini
menjadi kepala pemerintahan Negeri (KPN).
Pada
awal tahun 1951 kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli yang tadinya dijabat oleh
A.R. Nento diganti oleh Daeng Maraja Lamakarate. Kepala polisisnya pun diganti
yakni sesudah kekuasaan pemuda diambil kembali oleh pemerintah maka datanglah
seorang kepala polisi yang bernama Sitanala dan pasukan tentara pun bertukar
lagi yaitu dari pasukan Branjangan diganti oleh pasukan Bdaka Hitam yang
dipimpin oleh Letnan Mukmin Moito.
Dengan
adanya pemerintahan yang makin teratur makin teratur pula kegiatan pemerintahan
di daerah ini. Pada tahun 1953 kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli dari Daeng
Maraja Lamakarate digantikan oleh jafar Lapasere, kamudian Muhammad Kasim Razak
dan terakhir Andi Mohammad Tahir.Setelah ini berturut-turut yang ,menduduki
jabatan kepala Pemerintahan Negeri antara lain dijabat oleh Andi Musa, Andi
Moh.Ali,A.M.Jotolembah dan Malaga B.A
Raja
Haji Muhammad Saleh Bantilan wafat pada tahun 1956 di Tolitoli dan dimakamkan
di Nalu dalam satu kompleks dengan makam ayahandanya yakni Raja Haji Ismail
Bantilan serta kakaknya yakni Raja Haji Muhammad Ali Bantilan.
Oleh
karena pada waktu itu secara formal belum ada penghapusan Daerah Swapraja. Maka
setahun stelah Raja Haji Muhammad Saleh Bantilan wafat yakni pada tanggal 12
desember 1957 diumumkan oleh kepala pemerintahan Negeri Tolitoli Andi Muhammad
Tahir bahwa Mohammad Yahya Bantilan sudah diangkat menjadi Kelala Swapraja
Tolitoli serta duduk sebagai Anggota DPD.
Gubernur Militer Sulawesi Utara, Yang pada
saat itu M.Y.Bantilan tersebut sudah menjabat sebagai Wakil Kepala Pemerintahan
Negeri Tolitoli
Rakyat bergembira dengan adanya
pengumuman tersebut yang diwujudkan dalam satu pernyataan pada tanggal 19
desember 1957 yang ditanda-tangani oleh :
1.
Kepala
Distrik Dampal : Hasan
Daeng Marumu
2.
Kepala
Distrik Dondo :
Ibrahim Lamadang
3.
Kepala
Distrik Kota Tolitoli :
M.A.Rachim
4.
Tokoh
Masyarakat :
M.Talabuddin
5.
Tokoh
Makassar :
Hadir Haji Taa.
Persyaratan tersebut antara lain berbunyi :
Bahwa pihak rakyat menyatakan kegembiraan dan persetujuan atas pengumuman
Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli karena hal tersebut merupakan cita-cita
rakyat sejak dahulu bahwa di wilayah Tolitoli supaya dikembalikan adanya kepala
Swapraja.Akhirnya pada tanggal 21 Desember 1957 Mohammad Yahya Bantilan
diupacarakan secara adat oleh rakyat Tolitoli sebagai Raja. Kemudian secara
resmi tanggal 1 Juni 1958 dikeluarkan pengumuman No. 6/1958 yang ditujukan
kepada semua instansi Pemerintah serta seluruh Masyarakat bahwa Pemerintahan
Swapraja diserahkan kepada M.Y.Bantilan untuk mengkoordinir keswaprajaan di Tolitoli.
Pengumuman tersebut dikeluarkan oleh Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli yang
ditanda-tangi langsung oleh Kepala Pemerintahan Negeri Tolitoli Andi Muhammad
Tahir dan Kepala Polisi wilayah J.F.Papilaya.
Setahun kemudian secara resmi Daerah
Swapraja dihapuskan dan statusnya berubah menjadi Kewedanan yang masuk dalam
wilayah Kabupaten Donggala. Dan beberapa saat kemudian Keluarlah Undang-Undang
No.29 tahun 1959 tanggal 31 Oktober 1959 yang menetapkan wilayah Tolitoli dan
wilayah Buol menjadi satu yakni Kabupaten Buol Tolitoli.
KATA PENGANTAR
ASSALAMUALAIKUM
WR. WB.
BerkatrahmatAlaah
SWT.Kami dapatmenyusunataumenyelesaikanMakalahtentangsejarahPeristiwaMerahPutih
di
Tolitoliini.SemogadenganMakalahinisaudara-saudarapembacadapatmenggunakanMakalahdenganbaiksekaligusdapatmenambahwawasanbagipembacanya.
TentunyaMakalahinibelumsempurnadanmasihbanyakkekhilafantentunyadalamhalini
kami tidaksengaja, karenahanyaitulahkemampuandanketerbatasanilmu kami.Karena
kami masihdalamtahappengembangan proses belajar.
Kami
selakupembuatMakalahiniingatakansuatuperibahasa “Tiadagading yang takretak”.
Untukitu kami selalubersediamenerimakritikdan saran yang
bersifatmembangundarikalanganpembaca demi kesempurnaanMakalahini.Dan
semogaatasbantuandanamalusahaparapembacanyadibalasoleh Allah SWT. AMIN!
Harapan kami
semogadenganadanyaMakalahinimampumemberikanpengetahunsehinggadapatditerimadandisambutbaikolehkalanganpembacanya.
Penyusun:
Kelompok III
Show
0 Comments
prev